Guruku Pahlawanku

Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM 'De heer Soerjoadipoetro houdt een voordracht over de school van Tagore voor o.a. kwekelingen van het Nationaal Onderwijs Instituut 'Taman Siswa' te Bandung Java' TMnr 10002308.jpg
Ilustrasi Gambar
Zaman telah berubah, kondisi sosial-ekonomi pun demikian. Kehidupan guru kini tidak lagi sama dengan dahulu kala. Kalau dulu, pendapatan guru sangat minim hampir tidak sebanding dengan jasa yang mereka berikan. Paling tidak sekarang kehidupan itu sudah banyak perubahan, walau sebetulnya belum sesuai dengan jasa yang mereka (para guru) berikan kepada para generasi sebagai penerus masa depan bangsa.
Kisah guru yang diangkat dalam tulisan ini merupakan kisah nyata di salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Tempat tersebut juga merupakan lokasi lahir saya. Walaupun saya lahir di daerah kecil, tetapi saya percaya dengan perkataan Bapak Anies Baswedan “lokasi lahir boleh dimana saja, tapi lokasi mimpi harus berada di langit”. Artinya, tidak masalah lokasi lahir saya di daerah terpencil, yang penting lokasi mimpi saya harus di Brazil (maksudnya mimpinya harus berhasil diwujudkan).
Kabupaten tersebut tepatnya adalah Kabupaten Kepulauan Selayar. Sebuah kabupaten yang terpisah dengan daratan Sulawesi. Kalau mau dilihat dalam peta Indonesia, maka daerah tersebut mungkin tidak terlalu jelas. Lihatlah peta Sulawesi Selatan, barulah akan terlihat lebih jelas daerah tersebut. Salah satu kabupaten yang masih dikategorikan tertinggal dalam kategori Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (lihat daftar Daerah 3T LPDP Tahun 2014), walaupun data tahun 2015 menyatakan daerah tersebut tidak lagi termasuk kategori tertinggal.
Sang guru dalam tulisan ini saya katakan pahlawan, karena bagi saya sang guru tersebut rela mengorban kehidupan yang lebih baik dengan memilih tempat mengajar yang akses ke tempat tersebut masih sangat terbatas kala Ia pertama kali mendapat tugas sebagai tenaga pendidik. Bagaimana tidak, butuh waktu kurang lebih 12 jam perjalanan mengarungi lautan dengan menggunakan perahu dengan ukuran sederhana.
Bisa saja ia memilih tetap tinggal di kota dengan segala keistimewaan yang ditawarkan daripada harus pergi menjadi seorang pendidik di pulau dengan fasilitas yang serba terbatas. Akan tetapi karena panggilan nurani, beliau lebih memilih mengarungi derasnya kehidupan di daerah yang hanya punya fasilitas seadanya.
Menurut cerita beliau, kala ia pertama kali mengajar di daerah tersebut (pulau Jampea) sekitar tahun 1986, ia hanya mendapat gaji sebesar (± Rp. 37.000,-/bulan). Bisa dibayangkan  hanya dapat apa dengan gaji sebesar itu pada kondisi sekarang. Tapi bukan disitu letak problemnya, karena bisa saja uang tersebut cukup untuk kebutuhan sang guru kala itu, dengan harga kebutuhan pokok yang masih rendah atau sesuai dengan konteks masa itu. Akan tetapi, hal tersebut menurut saya belum mencerminkan penghargaan yang semestinya yang didapat oleh seorang guru. Mengingat merekalah ujung tombak kemajuan generasi yang akan datang.
 Guru adalah “pahlawan tanpa tanda jasa”, menurut saya kurang tepat lagi diperdengarkan kepada para generasi yang akan datang, karena bagi saya guru adalah “pahlawan dengan jasa tanpa batas”. Karena berkat merekalah kita bisa menikmati betapa indahnya pendidikan. Pendidikan yang memanusiakan manusia.
Sebagai penutup, tulisan ini ditulis sebagai refleksi atas peran dan tanggungjawab seorang guru yang amat besar dan mulia. Sehingga sudah seyogyanya kita lebih memuliakan mereka.

Salam hormat atasmu para guruku, semoga ilmu yang engkau berikan senantiasa menjadi penerang bagiku dalam mengarungi lautan mimpi yang tak bertepi. Amin…

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel